A. Definisi Waris
Al-miirats, dalam bahasa Arab ialah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya berdasarkan bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian berdasarkan bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi meliputi harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:
"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)
"... Dan Kami ialah pewarisnya." (al-Qashash: 58)
Sedangkan makna al-miirats berdasarkan istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada andal warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.
Pengertian Peninggalan
Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).
Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan
Dari sederetan hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan adalah:
1. Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya memakai harta miliknya, dengan catatan dihentikan berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang diharapkan mayit, semenjak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayat hingga di daerah peristirahatannya yang terakhir.
Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.
2. Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada andal warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."
Maksud hadits ini ialah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun jikalau utang tersebut berkaitan dengan Allah SWT, menyerupai belum membayar zakat, atau belum menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan ulama ada sedikit perbedaan pandangan. Kalangan ulama mazhab Hanafi beropini bahwa andal warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama beropini wajib bagi andal warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan (harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para andal warisnya.
Kalangan ulama mazhab Hanafi beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut merupakan ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jikalau seseorang telah meninggal dunia. Padahal, berdasarkan mereka, pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan niat dan keikhlasan, dan hal itu mustahil sanggup dilakukan oleh orang yang sudah meninggal. Akan tetapi, meskipun kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi orang yang sudah meninggal, ia tetap akan dikenakan hukuman kelak pada hari simpulan zaman alasannya ia tidak menunaikan kewajiban saat masih hidup. Hal ini tentu saja merupakan keputusan Allah SWT. Pendapat mazhab ini, berdasarkan saya, tentunya bila sebelumnya mayat tidak berwasiat kepada andal waris untuk membayarnya. Namun, bila sang mayat berwasiat, maka wajib bagi andal waris untuk menunaikannya.
Sedangkan jumhur ulama yang menyatakan bahwa andal waris wajib untuk menunaikan utang pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama saja menyerupai utang kepada sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan amalan yang tidak memerlukan niat lantaran bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak yang menyangkut harta peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi andal waris untuk menunaikannya, baik pewaris mewasiatkan ataupun tidak.
Bahkan berdasarkan pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan sebelum memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Sedangkan mazhab Maliki beropini bahwa hak yang bekerjasama dengan Allah wajib ditunaikan oleh andal warisnya sama menyerupai mereka diwajibkan menunaikan utang piutang pewaris yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Hanya saja mazhab ini lebih mengutamakan biar mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama hamba daripada utang kepada Allah. Sementara itu, ulama mazhab Hambali menyamakan antara utang kepada sesama hamba dengan utang kepada Allah. Keduanya wajib ditunaikan secara bersamaan sebelum seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap andal waris.
3. Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jikalau memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan andal waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh andal warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan sehabis sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar utangnya.
Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua andal warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw. saat menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. --pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para andal warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang."
4. Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para andal warisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai dengan menunjukkan warisan kepada ashhabul furudh (ahli waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya, contohnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya), lalu kepada para 'ashabah (kerabat mayat yang berhak mendapatkan sisa harta waris --jika ada-- sehabis ashhabul furudh mendapatkan bagian).
Catatan:
Pada ayat waris, wasiat memang lebih dahulu disebutkan daripada soal utang piutang. Padahal secara syar'i, perkara utang piutang hendaklah terlebih dahulu diselesaikan, gres lalu melakukan wasiat. Oleh lantaran itu, didahulukannya penyebutan wasiat tentu mengandung hikmah, diantaranya biar andal waris menjaga dan benar-benar melaksanakannya. Sebab wasiat tidak ada yang menuntut hingga kadang kala seseorang enggan menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan utang piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan penyebutannya dalam susunan ayat tersebut.
B. Derajat Ahli Waris
Antara andal waris yang satu dan lainnya ternyata mempunyai perbedaan derajat dan urutan. Berikut ini akan disebutkan berdasarkan urutan dan derajatnya:
1. Ashhabul furudh. Golongan inilah yang pertama diberi kepingan harta warisan. Mereka ialah orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al-Qur'an, As-Sunnah, dan ijma'.
2. Ashabat nasabiyah. Setelah ashhabul furudh, barulah ashabat nasabiyah mendapatkan bagian. Ashabat nasabiyah yaitu setiap kerabat (nasab) pewaris yang mendapatkan sisa harta warisan yang telah dibagikan. Bahkan, jikalau ternyata tidak ada andal waris lainnya, ia berhak mengambil seluruh harta peninggalan. Misalnya anak pria pewaris, cucu dari anak pria pewaris, saudara kandung pewaris, paman kandung, dan seterusnya.
3. Penambahan bagi ashhabul furudh sesuai kepingan (kecuali suami istri). Apabila harta warisan yang telah dibagikan kepada semua andal warisnya masih juga tersisa, maka hendaknya diberikan kepada ashhabul furudh masing-masing sesuai dengan kepingan yang telah ditentukan. Adapun suami atau istri tidak berhak mendapatkan embel-embel kepingan dari sisa harta yang ada. Sebab hak waris bagi suami atau istri disebabkan adanya ikatan pernikahan, sedangkan kekerabatan lantaran nasab lebih utama mendapatkan embel-embel dibandingkan lainnya.
4. Mewariskan kepada kerabat. Yang dimaksud kerabat di sini ialah kerabat pewaris yang masih mempunyai kaitan rahim --tidak termasuk ashhabul furudh juga 'ashabah. Misalnya, paman (saudara ibu), bibi (saudara ibu), bibi (saudara ayah), cucu pria dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak perempuan. Maka, bila pewaris tidak mempunyai kerabat sebagai ashhabul furudh, tidak pula 'ashabah, para kerabat yang masih mempunyai ikatan rahim dengannya berhak untuk mendapatkan warisan.
5. Tambahan hak waris bagi suami atau istri. Bila pewaris tidak mempunyai andal waris yang termasuk ashhabul furudh dan 'ashabah, juga tidak ada kerabat yang mempunyai ikatan rahim, maka harta warisan tersebut seluruhnya menjadi milik suami atau istri. Misalnya, seorang suami meninggal tanpa mempunyai kerabat yang berhak untuk mewarisinya, maka istri mendapatkan kepingan seperempat dari harta warisan yang ditinggalkannya, sedangkan sisanya merupakan embel-embel hak warisnya. Dengan demikian, istri mempunyai seluruh harta peninggalan suaminya. Begitu juga sebaliknya suami terhadap harta peninggalan istri yang meninggal.
6. Ashabah lantaran sebab. Yang dimaksud para 'ashabah lantaran alasannya ialah orang-orang yang memerdekakan budak (baik budak pria maupun perempuan). Misalnya, seorang bekas budak meninggal dan mempunyai harta warisan, maka orang yang pernah memerdekakannya termasuk salah satu andal warisnya, dan sebagai 'ashabah. Tetapi pada masa kini sudah tidak ada lagi.
7. Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta pewaris. Yang dimaksud di sini ialah orang lain, artinya bukan salah seorang dan andal waris. Misalnya, seseorang meninggal dan mempunyai sepuluh anak. Sebelum meninggal ia terlebih dahulu memberi wasiat kepada semua atau sebagian anaknya biar menunjukkan sejumlah hartanya kepada seseorang yang bukan termasuk salah satu andal warisnya. Bahkan mazhab Hanafi dan Hambali beropini boleh menunjukkan seluruh harta pewaris bila memang wasiatnya demikian.
8. Baitulmal (kas negara). Apabila seseorang yang meninggal tidak mempunyai andal waris ataupun kerabat --seperti yang saya jelaskan-- maka seluruh harta peninggalannya diserahkan kepada baitulmal untuk kemaslahatan umum.
C. Bentuk-bentuk Waris
1. Hak waris secara fardh (yang telah ditentukan bagiannya).
2. Hak waris secara 'ashabah (kedekatan kekerabatan dari pihak ayah).
3. Hak waris secara tambahan.
4. Hak waris secara pertalian rahim.
Pada kepingan berikutnya butir-butir tersebut akan saya terang secara detail.
D. Sebab-sebab Adanya Hak Waris
Ada tiga alasannya yang mengakibatkan seseorang mendapatkan hak waris:
1. Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), menyerupai kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
2. Pernikahan, yaitu terjadinya ijab kabul secara legal (syar'i) antara seorang pria dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi kekerabatan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi alasannya untuk mendapatkan hak waris.
3. Al-Wala, yaitu kekerabatan lantaran alasannya hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab ialah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya menerima kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak mempunyai andal waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun lantaran adanya tali pernikahan.
E. Rukun Waris
Rukun waris ada tiga:
1. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan andal warisnya berhak untuk mewarisi harta peninggalannya.
2. Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau mendapatkan harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
F. Syarat Waris
Syarat-syarat waris juga ada tiga:
1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara aturan (misalnya dianggap telah meninggal).
2. Adanya andal waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
3. Seluruh andal waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah kepingan masing-masing.
Syarat Pertama: Meninggalnya pewaris
Yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris --baik secara hakiki ataupun secara hukum-- -ialah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh andal warisnya atau sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orang yang hilang yang keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim memvonisnya sebagai orang yang telah meninggal.
Hal ini harus diketahui secara pasti, lantaran bagaimanapun keadaannya, insan yang masih hidup tetap dianggap bisa untuk mengendalikan seluruh harta miliknya. Hak kepemilikannya tidak sanggup diganggu gugat oleh siapa pun, kecuali sehabis ia meninggal.
Syarat Kedua: Masih hidupnya para andal waris
Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada andal waris yang secara syariat benar-benar masih hidup, alasannya orang yang sudah mati tidak mempunyai hak untuk mewarisi.
Sebagai contoh, jikalau dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam satu insiden --atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di antara mereka tidak sanggup saling mewarisi harta yang mereka miliki saat masih hidup. Hal menyerupai ini oleh kalangan fuqaha digambarkan menyerupai orang yang sama-sama meninggal dalam suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan, mereka ialah golongan orang yang tidak sanggup saling mewarisi.
Syarat Ketiga: Diketahuinya posisi para andal waris
Dalam hal ini posisi para andal waris hendaklah diketahui secara pasti, contohnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan niscaya jumlah kepingan yang harus diberikan kepada masing-masing andal waris. Sebab, dalam aturan waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya menyampaikan bahwa seseorang ialah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai aturan bagian, ada yang berhak mendapatkan warisan lantaran sebagai ahlul furudh, ada yang lantaran 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.
G. Penggugur Hak Waris
Penggugur hak waris seseorang maksudnya kondisi yang mengakibatkan hak waris seseorang menjadi gugur, dalam hal ini ada tiga:
1. Budak
Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara pribadi menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jikalau tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.
2. Pembunuhan
Apabila spesialis waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. "
Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di kalangan fuqaha yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah: "Siapa yang menyegerakan biar mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka ia tidak mendapatkan bagiannya."
Ada perbedaan di kalangan fuqaha wacana penentuan jenis pembunuhan. Misalnya, mazhab Hanafi memilih bahwa pembunuhan yang sanggup menggugurkan hak waris ialah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat.
Sedangkan mazhab Maliki berpendapat, hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan yang sanggup menggugurkan hak waris. Mazhab Hambali beropini bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris ialah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.
Sedangkan berdasarkan mazhab Syafi'i, pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya menunjukkan kesaksian palsu dalam pelaksanaan eksekusi rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau eksekusi mati pada umumnya. Menurut saya, pendapat mazhab Hambali yang paling adil. Wallahu a'lam.
3. Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak sanggup mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:
"Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim)
Jumhur ulama beropini demikian, termasuk keempat imam mujtahid. Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal r.a. yang menyampaikan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi dihentikan mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka ialah bahwa Islam ya'lu walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).
Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal ini ulama menciptakan kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak sanggup mewarisi orang Islam.
Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat orang yang murtad, apakah sanggup mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad?
Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, berdasarkan mereka, orang yang murtad berarti telah keluar dari pemikiran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, menyerupai ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah sanggup saling mewarisi.
Sedangkan berdasarkan mazhab Hanafi, seorang muslim sanggup saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi setuju mengatakan: "Seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim." Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan lainnya.
Menurut penulis, pendapat ulama mazhab Hanafi lebih rajih (kuat dan tepat) dibanding yang lainnya, lantaran harta warisan yang tidak mempunyai andal waris itu harus diserahkan kepada baitulmal. Padahal pada masa kini tidak kita temui baitulmal yang dikelola secara rapi, baik yang bertaraf nasional ataupun internasional.
Perbedaan antara al-mahrum dan al-mahjub
Ada perbedaan yang sangat halus antara pengertian al-mahrum dan al-mahjub, yang terkadang membingungkan sebagian orang yang sedang mempelajari faraid. Karena itu, ada baiknya saya jelaskan perbedaan makna antara kedua istilah tersebut.
Seseorang yang tergolong ke dalam salah satu alasannya dari ketiga hal yang sanggup menggugurkan hak warisnya, menyerupai membunuh atau berbeda agama, di kalangan fuqaha dikenal dengan istilah mahrum. Sedangkan mahjub ialah hilangnya hak waris spesialis waris disebabkan adanya andal waris yang lebih erat kekerabatannya atau lebih berpengaruh kedudukannya. Sebagai contoh, adanya kakek bersamaan dengan adanya ayah, atau saudara seayah dengan adanya saudara kandung. Jika terjadi hal demikian, maka kakek tidak mendapatkan kepingan warisannya dikarenakan adanya andal waris yang lebih erat kekerabatannya dengan pewaris, yaitu ayah. Begitu juga halnya dengan saudara seayah, ia tidak memperoleh kepingan disebabkan adanya saudara kandung pewaris. Maka kakek dan saudara seayah dalam hal ini disebut dengan istilah mahjub.
Untuk lebih memperjelas citra tersebut, saya sertakan pola perkara dari keduanya.
Contoh Pertama
Seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri, saudara kandung, dan anak --dalam hal ini, anak kita misalkan sebagai pembunuh. Maka pembagiannya sebagai berikut: istri menerima kepingan seperempat harta yang ada, lantaran pewaris dianggap tidak mempunyai anak. Kemudian sisanya, yaitu tiga per empat harta yang ada, menjadi hak saudara kandung sebagai 'ashabah
Dalam hal ini anak tidak mendapatkan kepingan disebabkan ia sebagai andal waris yang mahrum. Kalau saja anak itu tidak membunuh pewaris, maka kepingan istri seperdelapan, sedangkan saudara kandung tidak mendapatkan kepingan disebabkan sebagai andal waris yang mahjub dengan adanya anak pewaris. Jadi, sisa harta yang ada, yaitu 7/8, menjadi hak sang anak sebagai 'ashabah.
Contoh Kedua
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ayah, ibu, serta saudara kandung. Maka saudara kandung tidak mendapatkan warisan dikarenakan ter- mahjub oleh adanya andal waris yang lebih erat dan berpengaruh dibandingkan mereka, yaitu ayah pewaris.
H. Ahli Waris dari Golongan Laki-laki
Ahli waris (yaitu orang yang berhak mendapatkan warisan) dari kaum pria ada lima belas: (1) anak laki-laki, (2) cucu pria (dari anak laki-laki), (3) bapak, (4) kakek (dari pihak bapak), (5) saudara kandung laki-laki, (6) saudara pria seayah, (7) saudara pria seibu, (8) anak pria dari saudara kandung laki-laki, (9) anak pria dari saudara pria seibu, (10) paman (saudara kandung bapak), (11) paman (saudara bapak seayah), (12) anak pria dari paman (saudara kandung ayah), (13) anak pria paman seayah, (14) suami, (15) pria yang memerdekakan budak.
Catatan
Bagi cucu pria yang disebut sebagai andal waris di dalamnya tercakup cicit (anak dari cucu) dan seterusnya, yang penting pria dan dari keturunan anak laki-laki. Begitu pula yang dimaksud dengan kakek, dan seterusnya.
I. Ahli Waris dari Golongan Wanita
Adapun andal waris dari kaum perempuan ada sepuluh: (1) anak perempuan, (2) ibu, (3) anak perempuan (dari keturunan anak laki-laki), (4) nenek (ibu dari ibu), (5) nenek (ibu dari bapak), (6) saudara kandung perempuan, (7) saudara perempuan seayah, (8) saudara perempuan seibu, (9) istri, (10) perempuan yang memerdekakan budak.
Catatan
Cucu perempuan yang dimaksud di atas meliputi pula cicit dan seterusnya, yang penting perempuan dari keturunan anak laki-laki. Demikian pula yang dimaksud dengan nenek --baik ibu dari ibu maupun ibu dari bapak-- dan seterusnya.
0 komentar:
Posting Komentar